Boleh ku ceritakan tentang
sesuatu? Sesuatu yang ku sebut pengalaman...
Suatu pagi aku terbangun dari
tidur malamku bersama seorang pria yang satu ranjang denganku. Ia masih
terlelap. Sudah tiga minggu kami tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Kami
adalah sepasang kekasih dengan jarak usia 10 tahun. Seharusnya ia kupanggil
paman atau semacamnya.
Tak ada yang bisa kulakukan
kecuali memainkan handphone yang tidak bernotif. Membuka semua sosial media
yang kupunya. Akhirnya semua ini terasa membosankan. Kucoba lagi untuk tidur,
tapi tak bisa. Ku lihat jam di dinding, ia menunjukkan pukul 7 pagi. “pantas
aku tak bisa tidur lagi” kataku dalam hati.
Rasanya ingin aku membuka ponsel
kekasihku yang sedang tersambung dengan kabel charger. Dari tadi handphonenya
menyala tanpa suara. Handphonenya dikunci dengan pola. Aku berhasil membukanya
saat semalam ku lihat ia membuka dengan pola yang cukup rumit, tapi berhasil ku
ingat.
Ada notif di whatsapp, dan ku
buka. Beberapa pesan masuk dari grup kantor, tidak ku baca. Lalu scroll ke
bawah dan ku temukan beberapa nama perempuan dengan foto profil yang vulgar. Ku
baca satu persatu dan ku temukan jawaban bahwa kekasihku telah bermain di
belakangku. Aku yakin tiga minggu kemarin ia memang ada projek dalam pekerjaannya,
tapi diselingi dengan beberapa perempuan. Ada satu yang paling berkesan
memikat. Seorang perempuan yang sepertinya adalah janda anak satu. Ku simpan
nomornya lalu ku telpon di luar kamar.
Nomornya tersambung, tapi
membuatku harus menunggu beberapa saat.
“hallo” seseorang bicara di sana.
“iya” jawabku.
“siapa?” tanyanya curiga.
“mbak Leni? Saya Agis. Maaf
mengganggu, saya lihat handphone pacar saya, Rendi. Ada mbak di chat
whatsappnya, saya boleh tau hubungan kalian apa?” aku to the point.
“oh, yah kamu tanya aja sama dia”
Hatiku bicara: Anjeeng! Jawab aja susah lo. Lemot!”
Telponnya terputus. Aku kembali
masuk kamar dan ku temukan Rendi duduk di kasur dengan tatapan sinis. Aku
mencoba biasa saja.
“kamu nelpon Leni?” tanyanya
menahan marah.
Tak ku jawab. Aku membereskan
barang-barangku.
“kamu nggak sopan, buka handphone
saya nggak pake izin” nadanya jadi formal.
“saya kira tiga minggu kita nggak
ketemu, kamu kerja...”
“emang kerja!” potongnya.
“iya kerja, tapi tetap ketemu dia
kan? Sebenarnya dia siapa sih? Selama ini aku nggak pernah minta barang mewah
kok, cukup hargai aku aja kamu nggak bisa!”
Kali ini dia yang tidak menjawab.
“kita putus aja, aku nggak mau
perjuangin cinta buat orang yang yang nggak cinta sama aku” aku pergi .
Saat aku membuka pintu, tiba-tiba
ku dengar ia berkata “dasar cewek alay!”
Sontak aku berbalik kembali ke
arahnya.
“bilang apa lo barusan. Ngomong
gue salah apa sama lo sampe lo selingkuh? Ini udah kesekian kali yah lo
selingkuh! Emang udah karakter lo kaya gini kali. Doyannya sama janda!” emosiku
meluap.
“udah-udah! Lo kalo mau pergi yah
pergi aja!” balasnya.
“coba jelasin gue salah apa?”
timbalku lagi.
“nggak salah. Udah pergi sana!”
dia mengusirku.
Mendengar itu, ku ambil segelas
air jeruk yang ada di meja dan ku siram penuh ke arahnya. Setelah itu aku pergi
sambil menangis terisak.
Aku berjalan di pinggir jalan
pada jam sibuk. Masih menangis memikirkan betapa bodohnya aku yang memberinya
kesempatan untuk bersama denganku.
Hingga aku sampai di stasiun dan mendapatkan handphoneku berbunyi. Itu
Fay, temanku sewaktu sekolah. Ia adalah laki-laki yang cukup aktif dulu, sampai
ia terpilih menjadi ketua pramuka.
Fay menelpon untuk mengundangku
ke acara reuni sekolah. Ia mengatakan belum banyak yang akan ikut, tapi ia
menelpon untuk memastikan kehadiranku atau tidak agar makanan yang dipesan
nanti pas.
Ku ingat jadwalku di hari yang ia
sebutkan. Aku ingat hari Sabtu aku ada kuliah pengganti sampai malam. Sehingga
aku katakan padanya bahwa aku tak akan pergi. Ia memahami kondisi itu, tapi ia
tetap bersikeras agar aku berubah pikiran, mengingat aku yang tidak pernah
datang ke acara reuni sekolah setiap tahun.
“Gis, emang sih nggak banyak yang
janji datang, tapi cobalah sekali ini lo datang. Kita nggak tau apa yang akan
terjadi lain waktu, bisa aja tahun depan malah gue yang nggak hadir”
“iya gue ngerti, tapi hari Sabtu
gue ada kuliah pengganti. Kalau Minggu sih gue free” kataku bernegosiasi.
“Abel datang loh, lo nggak mau
ketemu?” tiba-tiba ia menyebutkan nama yang selama ini ku coba untuk lupakan.
“iya, gue pikir-pikir dulu yah”
Aku pulang ke rumah dengan wajah
suntuk. Ku bersihkan wajahku berkali-kali. Kemudian ku pandangi wajahku di
depan cermin sambil mengingat hal buruk yang baru saja menimpaku. Ku
perhatikan ada bintik hitam di pipi ku,
jerawat di dahi, dan mataku yang sembab akibat menangis dijalan. “pantas saja
laki-laki itu selingkuh” kataku dalam hati, menyalahkan diriku sendiri. Tak
kusadari akibat itu semua wajahku membengak seperti babi. Dengan cepat ku ambil
masker dan memasangnya di wajahku untuk mengembalikan kesegarannya.
Setelah membersihkan diri, ku
nyalakan komputer sambil memutar lagu yang ada di playlist. Hal ini cukup
menenangkan, walaupun laki-laki bodoh yang baru saja mengkhianatiku terus saja
menelpon dan aku tidak peduli.
Tiba-tiba sebuah panggilan
melalui skype masuk. Kali ini Mela. Ia menelpon untuk menanyakan kehadiranku ke
acara reuni sekolah. Aku menjawabnya sama seperti yang aku katakan pada Fay.
Tapi Mela bukan orang yang sembarangan. Ia mampu menghasutku seperti yang biasa
ia lakukan di sekolah dulu.
“ayolah, Gis, datang...”
“gue kuliah, Mel...”
“cabut aja, sekali ini”
“acaranya di Jakarta, gue dari
Bogor jam berapa?” tanyaku.
“yah, makanya cabut!”
Setan kecil ini benar-benar
bengis. Ia terus merayuku untuk datang ke acara reuni sekolah. Sampai
akhirnya..... sebuah chat masuk ke Line ku yang terhubung dengan pc.
Hallo Agisa, apa kabar? Kamu datang kan ke acara reuni sekolah? Aku
harap kamu datang. I miss you!
Karena chat itu aku langsung
berkata “oke, Mel. Fiks, gue cabut!”
Sabtu Sore, Stasiun Manggarai.
Aku duduk sendirian,
memperhatikan sekelilingku yang dipenuhi orang-orang berlalu-lalang. Tak lama
Fay menelponku menanyakan posisi sampai akhirnya kami bertemu. Selang beberapa
menit, Erwin, Mela, dan Nadya datang.
Setelah berkumpul. Kami
kebingungan akan makan di mana, karena restoran yang kami pesan sudah masuk
daftar waiting list. Aku dan Fay mencoba mencari restoran lain yang dekat situ,
tapi semua penuh. Erwin menyarankan agar kami makan di kaki lima saja, tapi
Nadya tidak mau. Mela menjulukinya “si rempong”
Hari mulai malam, kami belum juga
mendapat restoran.
“udah deh, kita makan di restoran
cepat saji aja” saranku.
“nah betul!” Erwin setuju.
“ih jangan. Gue nggak bisa makan
daging” kata Fay.
“kenapa?” tanya Mela.
“baru pasang behel, hehe” jawab
si bodoh Fay.
“eh, Abel masih di mana?” tanya
Nadya memotong percakapan kami.
Aku bertanya dalam hati, “Abel?”.
“tadi sih katanya masih di
kereta” kata Fay, “oh itu tuh!” ia menunjuk ke seseorang dikerumunan.
Hatiku berdesir. Sudah lama aku
tak merasakan ini. Semua rasa bercampur menjadi satu. Rasa ingin bertemu,
takut, dan mules di perutku berkoyak di
sekujur tubuhku. Ada apa ini? Mungkinkah ini sebuah kerinduan yang datang lagi?
Tapi bagaimana mungkin, hal ini sudah bertahun-tahun lamanya tak terjadi
padaku.
“woooooh!!! Lama banget lo!” Kata
Fay.
Laki-laki itu tertawa kecil, ia
mengangkat tangan kanannya untuk saling bertepuk dengan tangan kami. Dari mulai
Nadya, ke Fay, ke Erwin, Ke Mela, dan terakhir ke arahku. Sejauh yang ku ingat
aku tak pernah menepuk tangannya saat bertemu, tapi aku mencium tangannya.
“ cieee ketemu mantan...” Nadya
menggodaku.
“apaan sih” responku malu.
Tibalah pada keputusan akhir kami
untuk makan di restoran cepat saji. Tempatnya tidak terlalu ramai, kami datang
dan langsung mendapat bangku untuk
duduk. Para cowok memesan makanan, dan yang cewek membereskan meja. Kami
menggabungkan empat meja menjadi satu. Yang cewek duduk di sofa sejajar, dan
yang cowo duduk di kursi biasa. Saat mendapat makanan, kami bercerita dan
berfoto. Beberapa kali aku mengambil video sambil menanyakan kabar mereka.
Fay, cowok yang pantatnya pernah
tertusuk pensil saat sekolah dulu kini tumbuh dengan badannya yang tegap
tinggi, tapi wajahnya tak berubah. Ia membuka jaketnya dan menitipkannya
padaku. Tak kusangka ternyata ia sedang pamer kaos universitas. Sungguh
menjijikan.
Erwin, cowok ini dulunya pendek,
kurus dan botak. Kini badanya lebih tinggi dariku dan lebih bersih. Di masanya
yang sekarang ia terjun ke dunia politik, menjadi tim sukses salah satu
pasangan calon gubernur. Dari situ ia mendapat banyak uang.
Aku mengambil videonya saat
sedang makan. “di politik ngapain aja?” tanyaku sembarang. Ia kemudian mengepal
tangannya dan menggerakkannya ke atas dan kebawah. Kami pun tertawa bersama.
Nadya, gadis polos yang pintar.
Ia kuliah di pemerintahan. Tak banyak yang berubah dari cewek ini. Masih kurus
dan dingin.
Mela. Dulu dia dipanggil Melon,
singkatan dari Mela Oon. Tapi sekarang panggilan itu seolah hilang ditelan bumi
ketika ia lolos di universitas terbuka dan mengambil jurusan matematika.
Sungguh membanggakan. Fisiknya berubah sedikit, lebih gendut dan bersih.
Caranya berpakaian pun lebih baik dari pada dulu.
Terakhir Abel. Aku mengenalnya
cukup baik. Keluarganya, kesehariannya. Dulu kami sering berdebat, bertengkar,
memprovokasi kelompok. Hingga timbul kebencian. Tapi pepatah yang mengatakan
bahwa jangan terlalu membenci seseorang karena suatu saat kau akan
mencintainya. Itu benar. Setelah bosan bermusuhan, Abel seolah melakukan
genjatan senjata dan menawarkan perdamaian. tak kusangka orang ini ternyata
konyol dan memikat. Senyumnya manis dan tawa dari suaranya yang ngebass bisa
dengan mudah kuingat. Dulu kami sering menulis puisi bersama, hingga terpilih
untuk menjadi perwakilan membaca puisi waktu sekolah. Sampai akhirnya ia
menyatakan rasa sukanya padaku yang sudah dia pendam sejak kami sering
berdebat. Abel, laki-laki tinggi bongsor itu menjadi cinta pertamaku dan
berhasil merebut ciuman pertamaku. Sangat disayangkan kebersamaan kami terputus
karena munculnya keegoisan kami.
Abel izin ke toilet, dan aku
masih sibuk mendengarkan cerita Erwin tentang politik dan ormas yang ia ikuti.
Tiba-tiba sebuah chat masuk dari Abel. “Bawa charger nggak?”. Aku tertawa dalam
hati. Orang ini dari dulu selalu lupa membawa barang penting itu. Ia tak pernah
mau membawa tas ataupun hal lain yang merepotkan. Lalu ku balas “bawa kok,
power bank juga bawa”. Setelah itu Abel kembali dan memberikan handphonenya
padaku. Aku mengerti maksudnya. Ku ambil handphonenya dan ku sambungkan dengan
power bank di tasku.
Kemudian Abel mengaku tempatnya
duduk terlalu sempit, dan meminta Nadya bergeser agar ia bisa duduk
disampingku. Perasaan itu muncul lagi, orang bilang ini B-A-P-E-R, tapi aku
benar-benar takut kalau aku akan jatuh cinta lagi padanya. Meski yang lain
menganggap ini biasa saja.
Kami makan dengan lahap. Erwin,
Fay, dan Abel rebutan kulit ayam, sedangkan aku hanya tertawa sambil memakan
kentang goreng. Lalu ku lihat jam di tanganku yang menunjukan pukul 8 malam.
Aku memanggil Fay dan berkata
“Fay, pulangnya bareng yah”. Fay mengangguk.
Erwin memintaku agar aku naik
motor saja dengannya, tapi itu ditolak oleh Abel. “apaan sih lo pada?” kata
Abel. “lo baliknya bareng gue aja!” Abel berbicara padaku.
Dengan cepat aku mengatakan
tidak. Aku tak ingin terlihat masih menyukainya dihadapan teman-teman yang
lain.
Sampai makanan habis, Mela
meminta izin untuk pulang duluan karena diminta pulang oleh ibunya. Erwin
kemudian pindah tempat duduk disebelah kiriku menggantikan tempat Mela. Ia
disuruh oleh Fay untuk mentraktir kami berempat ice cream. Ia menjawab bahwa ia
tidak punya uang sambil memperlihatkan isi dompetnya. Dengan cepat ku ambil
dompetnya dan kulihat ada banyak uang seratus ribuan. Abel juga mengambil
dompet itu dariku dan mengeluarkan semua isinya termasuk KTP, SIM, dan
lain-lain. Dan yang mengejutkan adalah ketika Abel menemukan ada kondom di
dompetnya.
“itu punya temen gue” Erwin
beralasan.
Kami saling melempar barang aneh
itu hingga akhirnya Abel menggulungnya dengan tissu dan membuangnya.
Tak satupun dari kami yang berpikiran jelek tentang Erwin, kami juga tak
menghakiminya karena memiliki benda semacam itu, tapi harus ku ucapkan terima
kasih pada Erwin karena telah membuat kami gembira bersama. Aku menyayangi
mereka sehingga rasanya aku tak ingin pulang. Tapi waktu berkata lain. Kami
harus segera beranjak karena pelayan restoran cepat saji itu juga terus
memperhatikan kami yang dari magrib terus berada di sana.
Fay, Erwin dan Nadya pergi keluar
terlebih dulu. Sedangkan aku masih di dalam karena membereskan barang-barang di
tasku yang berantakan. Abel menemaniku di sana meski tak ada yang ia lakukan
untuk membantu.
“kamu pulangnya bareng aku aja
yah” Abel membuka percakapan.
Aku menggelengkan kepala.
“kenapa?” tanyanya.
“yah, kamu kan pulangnya ke
Palmerah, aku ke Bogor. Gimana sih?” responku sinis.
“kita ke Palmerah dulu, ambil
motor, terus aku anterin kamu ke Bogor”
Aku menggelengkan kepala lagi.
Ia memegang tanganku, “please...”
Aku menunduk dan berpikir bahwa
aku adalah wanita munafik yang merindukannya.
“tapi jangan malem-malem yah,
biar kamu juga nggak malem banget pulangnya” jawabku dan membuatnya tersenyum.
Kami keluar restoran berdua.
Erwin pamit pulang duluan karena ia membawa motor. Tinggal aku, Abel, Fay dan
Nadya. Kami pergi kembali ke stasiun Manggarai dengan bantuan Taxi Online. Aku
duduk di depan. Abel duduk tepat di belakangku. Sesekali tangannya jahil
mencolek pundakku dari belakang.
Nadya pulang tanpa menggukan
kereta, katanya ia dijemput pacarnya di sana. Fay menungguku di peron tujuan
akhir Bogor karena kami pulang searah. Sedangkan aku menemani Abel membeli
tiket kereta.
“Abel, kita pulang berdua?”
tanyaku memastikan.
Ia mengangguk.
“Fay udah nungguin aku di peron.
Kalau aku bareng kamu, berati kita beda kereta dong sama Fay?”
“yaudah, kamu ke Fay aja dulu,
suruh dia duluan” kata Abel.
Aku langsung menemui Fay di peron
dan mengatakan bahwa aku akan ikut dengan Abel ke Palmerah.
“Abel nganterin lo pulang ke
Bogor?” tanyanya.
“iya”
“pake motor?”
“Iya”
“yaudah, hati-hati yah!” ia
terlihat biasa saja meski aku tau betul ia curiga dengan tingkahku dan Abel
yang tiba-tiba menjadi dekat lagi.
Aku kembali ke Tiketing Mechine,
tempat Abel sedang mengantri. Kemudian kami ke peron bersama sambil
bergandengan. Di sebrang peron ku lihat Fay dari jauh memperhatikan kami, ia
belum pulang ternyata. Tapi tak lama kereta datang, aku dan Abel masuk dan
duduk bersebelahan.
Abel meminjam handphoneku dan
melihat-lihat. Aku bersandar ke bahunya. Kami terlihat seperti sepasang
kekasih. Meski sudah lama sekali kami tidak jalan berdua saja. Harus ku akui,
aku merindukan moment ini. Moment di mana aku pergi dengan seorang pria yang usianya tidak jauh berbeda denganku. Saat kami
menyukai aliran musik yang sama dan keadaan keuangan yang sama. Sebentar saja
aku membandingankan Abel dengan Rendi. Abel terkesan cuek walau sebenarnya ia
peduli, sedangkan Rendi, ia hanya perhatian padaku bila disekitar orang banyak.
Rendi sering membelikanku barang-barang mewah, tapi itu malah membuatku tidak
percaya diri dan menganggap bahwa aku terlalu kampungan untuk bersanding
dengannya. Rendi tak mau bermesraan di tempat umum seperti di gerbong kereta.
Sedangkan Abel dengan sengaja mengelus kepalaku sambil tersenyum dan memainkan
jari tanganku.
Sekitar dua jam kurang, kami
sampai di Palmerah dan menggunakan angkutan umum untuk sampai di rumah Abel.
Sayangnya jalanan Jakarta selalu identik dengan kemacetan. Beberapa kali
kulihat Abel tak nyaman dengan duduknya menandakan bahwa ia kesal. Ku usap
pundaknya dan membuatnya sedikit tenang.
“kita sering banget yah kayak
gini” kataku mencairkan suasana.
“kaya gini?” tanyanya lagi.
“dulu...”
Ia tersenyum dan mencubit pipiku.
“inget nggak dulu kamu juga
pernah nganterin aku pulang malem-malem? Cuma dulu kita masih jalan kaki.
Sampai kamu jatuh ke lubang. Hahaha...” kataku.
Ia tersenyum lagi. Wajahnya
begitu Asia dan manis. Aku beruntung pernah memilikinya.
Jam 11 malam kami sampai.
Orang-orang di rumahnya telah tertidur. Abel mengizinkanku untuk mencuci muka
di kamar mandi rumahnya, selagi ia memanaskan motor.
Saat aku keluar dari kamar mandi,
ku lihat handhonenya Abel berbunyi. Sebuah chat masuk dan ku buka. Tak sempat
aku buka, Abel mengambilnya dengan cepat. “jangan buka-buka handphone aku deh!”
katanya. Aku hanya melihat, tak merespon apa-apa. Lalu aku beranjak untuk
keluar melihat apakah motornya sudah siap atau belum. Tapi Abel menarik
tanganku dan langsung memelukku dengan erat. Aku tak tau bagaimana ini terjadi,
yang jelas aku takut. Aku takut akan
jatuh cinta lagi pada orang ini.
“Abel, aku....”
“sssstt...” kata Abel. “kamu
kangen kan aku peluk?”
“Abel lepasin dulu..” aku
mengelak.
“sssstt... aku yang kangen kamu
peluk. Please, sebentar aja”
Tak lama setelah itu, Abel mengantarku
pulang ke Bogor dengan motor. Aku memeluknya dan bersandar penuh ke punggungnya.
Ia menanyakan hubunganku dengan Rendi, dan aku jawab kami baik-baik saja.
Waktu yang cukup lama untuk
melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bogor menggunakan motor. Tulang ekorku
sangat terasa pegal dan aku juga mengantuk.
Aku bertanya pada Abel tentang
perasaannya kini terhadapku. Dan dia memintaku memberikan opsi untuk
menjawabnya. Selagi aku berpikir untuk opsi itu, Abel berhenti di sebuah warung
tegal untuk makan lagi. Aku tak mengerti orang ini makannya banyak sekali.
“aku udah punya opsinya” kataku
pada Abel yang sedang menyantap makan malam kedua kalinya ini.
“nanti aja” responnya karena
melihat sekitar.
Ketika sampai di rumahku, waktu
menunjukan pukul 2 pagi. Aku tak tega menyuruh Abel langsung pulang lagi. Ku
persilakan Abel untuk duduk di teras rumah dan ku buatkan ia segelas kopi. Saat
aku kembali ke teras, kulihat Abel sedang tidur dan sesekali tangganya
menggarus tubuhnya. Ku ambil lotion anti nyamuk dan ku oleskan ke kaki, tangan,
dan wajahnya. Tak lupa kuambil bantal dan meletakannya di bawah kepala Abel
agar tidurnya lebih nyaman, meskipun aku tau ia tak sungguh-sungguh tidur.
Handphone Abel lowbet lagi, dan
ku charge di kamarku. Tak lama beberapa chat masuk, dan ku baca. Ada sekiranya
4 wanita yang mengechatnya hari ini. Semua bernada mesra dan begitu dekat. Dari
dalam kamar, kulihat ke luar jendela untuk memastikan Abel masih di sana.
Lama-kelamaan aku malah tak lagi respect dengan laki-laki ini. Hal ini mengingatkan
aku lagi kepada Rendi, bedanya aku tak bisa menyiram Abel dengan air jeruk
seperti yang aku lakukan pada Abel.
Aku kembali ke teras dan memijat
kaki Abel dengan sepenuh hati meski perasaan sakit hati tiba-tiba muncul.
Dalam tidurnya Abel berkata
“nggak berasa” ia terbangun dan duduk. “tangan kamu kecil, badan kamu kurus,
mijitnya nggak berasa”
Aku menamparnya pelan, ia
tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.
“mau mie goreng ngga?” tanya ku.
Ia mengangguk.
Ku buatkan mie goreng dan telur
dadar. Aku tak pernah memasak untuknya sebelum ini. Dulu aku pernah masak nasi
goreng untuknya ketika ia sakit, tapi Fay mengantarkanya lagi padaku dan
mengatakan bahwa vertigo nggak boleh
makan nasi goreng.
Abel makan dengan lahap. Ia
mencoba menyuapiku, tapi aku tolak dengan alasan aku kenyang. Aku kembali ke
dapur untuk menyuguhkannya kue, dan ku berikan bersama handphonenya yang kini
terisi. Ku lihat Abel curiga setelah melihat handphonenya.
“kok handphone nyala?” tanyanya.
“tadi aku nyalain buat liat
batrenya udah pebuh atau belum” kataku beralasan.
“kamu baca chat?”
“iya, chat aku. Dan aku hapus
foto aku yang tadi kamu kirim tanpa seizin aku”
“kenapa?” tanyanya idiot.
“nggak sopan Abel. Kamu punya
pacar, kalau pacar kamu lihat kamu nyimpen foto cewek lain gimana? Aku juga
nggak enak. Apa lagi kamu ngambilnya tanpa izin aku”
Ia mengerti.
Setelah ia selesai dengan
makanannya, ia memintaku untuk memeluknya lagi, kupeluk ia lembut dan ia
mencium keningku. Saat ia mencoba meraih bibirku, ku suruh ia untuk pulang.
Terlihat kekecewaan pada matanya.
Ia bersiap untuk pulang. Tapi
perasaanku berkata bahwa aku tidak boleh munafik karena masih menginginkan ia
untuk lebih lama di sini. Hanya saja pikiranku tentang chat di handphone
membuatku berpikir realistis.
Abel mulai naik ke motornya, dan
aku memakaikannya helm. Ia meraih tanganku dan ku cium tangannya sebagai tanda
perpisahaan yang biasa kami lakukan dulu.
“aku masih kangen...” kataku
berbisik. “aku nggak tau gimana hilangin rasa kangen ini, Cuma aku takut buat
jatuh cinta lagi sama kamu”.
Ia menatapku. “kita pasti ketemu
lagi ko, dan aku minta kamu udah siapin opsi untuk pertanyaan kamu tadi”
Aku tersenyum dan sekali lagi ia
mencium keningku.
Perjumpaan kami selesai pada pagi
buta itu, aku pun tak tau akan bertemu lagi kapan. Dari kejadian ini aku
percaya bahwa seorang yang pernah selingkuh sekali, maka ia akan melakukannya
lagi. Dan setiap laki-laki itu tidak mungkin hanya chating ke 1 cewek aja.
Zaman sekarang dapeting cowok setia itu untung-untungan.
Tapi aku percaya Tuhan sudah
menyiapkan sesuatu yang baik untuk hambanya. Keep moving forward! Love you...
Agisa Alza Septera
Goresan Pena : Anisa Meliana